Peresensi: Lukman Santoso
Az*
Judul Buku: Kisah & Hikmah Mikraj Rasulullah
Penulis: Imam al-Qusyairi
Judul Buku: Kisah & Hikmah Mikraj Rasulullah
Penulis: Imam al-Qusyairi
Momentum Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina
kemudian naik ke Sidratul Muntaha adalah peristiwa yang sangat fenomenal dalam
sejarah umat Islam. Mengapa demikian? Karena dari peristiwa inilah Nabi
Muhammad SAW memperoleh perintah ibadah wajib, yakni sholat lima waktu yang
langsung dari Allah SWT.
Perintah sholat ini
kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan
tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks
spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan
kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat
beragama (Islam).
Bersandar pada alasan
inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang
berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’ ini, berupaya memberikan peta yang cukup
komprehensif seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat
Al-Quran dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang
menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga
mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah
sakral Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini,
termasuk mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit?
Apakah Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami
orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita
teladani?
Bagaimana dengan mikraj
para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim?
Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam
buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’
Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa
bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan
menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam
buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,”
seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu
dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain
perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan
perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari
Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau
perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci
Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju
sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan
ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah
perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat
didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat,
salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW
“berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata,
“Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala
penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT
pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini,
para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari
ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari
bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein
Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman
ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual
dari shalat yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat
adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang
merahnya, ada beberapa …
urutan dalam perjalanan
Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan
dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran
yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah
shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum
Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah
terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang
yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek
diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain
memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw,
tetapi juga memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali.
Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah
Mikrajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini merupakan
rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah.
Ia menggambarkan
rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh
perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu
selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah
menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
* Lukman Santoso Az,
Penikmat Buku dan peneliti Pada Centre for Studies of Religion and State (CSRS)
Yogyakarta.
Sumber: www.nu.or.id
TULISAN LAIN ;
ISRA’
MI’RAJ: Mu’jizat, Salah Tafsir, dan Makna Pentingnya
Oleh:T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
Dalam
memperingati isra’ dan mi’raj sering kita diajak oleh pembicara
pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang dibumbui
dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek astronomis sama
sekali tidak ada dalam kajian isra’ mi’raj.
Tulisan ini saya maksudkan
untuk mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di
dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas
kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’ mi’raj dengan kajian
astronomi. Makna penting isra’ mi’raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah
dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra’:1
Allah menjelaskan tentang isra’:
“Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan tentang mi’raj Allah
menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:
“Dan sesungguhnya dia (Nabi
Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat
tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu
selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Sidratul muntaha secara
harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas
yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi.
Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali
penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan
bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar
isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits
yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril
datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya,
diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’
berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi
melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis)
di Palestina.
Nabi SAW salat dua rakaat
di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan
segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam
kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”
Dengan buraq pula Nabi SAW
melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam
yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli
neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke
dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi
Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di
langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke
tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat
salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan
pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke
Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari
sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di
surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu
Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril
pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat
engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan
pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat
wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu
adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh
kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan
diberinya pengurangan sepuluh- sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima
kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya telah meminta
keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman,
“Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan kejadian sejak
melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa
hadits, mungkin menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam
kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan
perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik
hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril,
tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang
telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga
ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia.
Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan
menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min
semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan (ingatlah), ketika
Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”.
Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (QS. 17:60).
“Ketika orang-orang Quraisy
tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai
pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya
dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya,
saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat
Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang
menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan
hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering
disebut-sebut dalam Al-Qur’an.
Bila kita dengar kata
langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah
yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak
tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya
biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau
samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar,
yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan
lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali
tidak ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri
dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam
sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering
mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261
Allah menjanjikan:
“Siapa yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH
tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN
pahala orang-orang yang dikehendakinya….”
Juga di dalam Q.S.
Luqman:27:
“Jika seandainya semua
pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan
ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….”
Jadi ‘tujuh langit’ lebih
mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung
banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit
dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah
isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan
astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama,
matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini
ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin
masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang
sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus),
tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin
akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga
orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan
ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid
terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah
planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra’ mi’raj
dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu
malam. Na’udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat,
pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara
fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti
perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’
mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan
keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan
mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad SAW.
Makna
pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia
tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya
memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan
iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan
hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara
langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra’ mi’raj
bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima
waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat
mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat
maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau
haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari
semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya
mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
“Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Ankabut:45)
T.
Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan,
Bandung.
TULISAN LAIN ;
Kisah Isra’ – Mi’raj Nabi Muhammad SAW
selalu menarik perhatian terutama bagi saintis. Berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan
digali untuk menyingkap misteri disekitar perjalanan Rasulullah SAW pada waktu
malam hari dari Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsa, perjalanan beliau yang
dinamai Isra’.
Demikian pula perjalanan
Beliau dari Masjidil Aqsa dengan naik tangga ke langit pertama, kedua dan
seterusnya, sampai langit ke tujuh kemudian ke Shidratul Muntaha perjalanan
Beliau yang dinamai Mi’raj. Ada dua hal yang bisa dipermasalahkan.
Pertama apakah perjalanan
Isra’ dan Mi’raj yang Beliau jalani dengan badan dan ruh atau dengan ruh Beliau
saja ?.
Kedua, dimana letak tujuh
lapis langit yang Beliau harungi ?. Apakah itu di sistem tata surya kita dengan
planet – planet Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus,
Pluto ? atau diluar sistem tata surya kita, atau di galaksi kabut susu, atau di
galaksi yang lain, misalnya di galaksi Andromeda.
Ataukah sama sekali di luar
alam semesta yang kita hayati ini ?
Sebagian besar umat Islam
berpendapat, bahwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW dilaksanakan dengan ruh dan
badan. Alasan mereka ialah, bahwa Rasulullah SAW menceritakan kisah itu tidak
menyebut – nyebut, bahwa Beliau melakukan perjalanan itu hanya dengan ruh.
Dan seandainya itu
melakukan perjalanan itu dengan ruh saja, niscaya orang – orang kafir tidak
mempersoalkan jarak yang demikian jauh dapat dilakukan kurang dari satu malam.
Sebagian umat berpendapat, bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan Isra’ dan
Mi’raj dengan ruh Beliau, sedang badan Beliau tetap di Mekkah. Mereka
berpendapat orang dapat mengeluarkan ruh dari badannya.
Memang ada dikemukakan
kasus – kasus seperti itu. meskipun cerita – cerita tentang orang yang dapat
mengeluarkan badan ruhaninya atau badan halusnya dari badan jasmaninya tercatat
beberapa macam, tetapi kebenaran cerita – cerita itu masih belum sampai pada
penelitian ilmiah yang dapat dipercaya dalam dunia sains.
Antara lain suatu kisah
tentang orang yang mengalami operasi. Ketika dibius, dia merasa ringan dan
terbang keatas. Dia melihat badan jasmaninya mengalami operasi. Ruh yang sudah
keluar dari jasmani kasar melayang keluar rumah sakit sampai pada kompleks
pertokoan. Di situ dia melihat seorang kawan sedang berhenti berjalan di muka
toko sepatu dan melihat – lihat di etalase. Ruh itu kemudian terbang kembali
memasuki jasmani kasarnya. Ketika di cek, kawan yang dilihat berdiri di muka
toko sepatu itu cocok dengan pengamatannya, yakni hari, dan waktunya. Ini
dianggap suatu bukti bahwa badan halus mampu keluar dari badan kasarnya.
Wallahu’alam bish shawab.
Langit
yang Tujuh Lapis
Masalah yang kedua
menyangkut tempat Rasulullah SAW melakukan Mi’raj ke langit pertama, kedua,
ketiga, sampai langit ke tujuh, bahkan kemudian naik sampai ke Shidratul
Muntaha. Perkembangan ilmu astronomi sudah sampai kepada wujudnya galaksi –
galaksi selain galaksi kabut susu tempat system tata surya kita.
Interpretasi mengenai
tempat Mi’raj Nabi Muhammad SAW mengalami kebingungan. Bila dikatakan Nabi
Muhammad SAW hanya mengarungi planet Pluto, yakni planet yang posisinya paling
jauh dari matahari, itu terlampau dekat bagi perjalanan Mi’raj, sebab jagad
raya kita terdiri dari galaksi – galaksi yang banyak sekali lalu mana itu Tujuh
Lapis Langit yang di harungi oleh Rasulullah SAW bersama – sama malaikat Jibril
a.s ?
Kini perkembangan astronomi
lebih maju lagi. Dengan teori grup matematika yang beroperasi didalam ruang
yang berdimensi sebelas, empat diantaranya dimensi ruang waktu yang kita alami,
ditemukan bahwa terdapat kemungkinan adanya shadow world atau alam bayangan itu
tidak mesti sama dengan apa yang ada di alam kita ini.
Bahkan kita dapat
menghubunginya lewat medan gravitasi. Teori ini masih berkembang yang
memerlukan pengkajian secara eksperimental.
Sikap
Seorang Muslim
Setiap orang muslim yang
mempercayai Allah dan Rasulnya pasti mempercayai kisah Isra’ dan Mi’raj yang
bersumber dari Al qur’an dan Sunah Shohihah. Adapun Interpretasi tentang kisah
tersebut bervariasi. dan setiap muslim berhak memilih macam variasinya yang
dimantapinya. Orang yang mantap berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah
SAW dijalani dengan ruh dan badan tidak menganggap orang yang berpendapat bahwa
dengan ruh saja sudah termasuk kafir. Tidak demikian ! Sebab soal tersebut
tidak termasuk soal prinsip yang menyebabkan kekufuran.
Artikel ini juga tidak
bermaksud untuk membuat pembaca nan budiman menjadi bingung, tak tahu mana yang
paling benar dari berbagai macam variasi interpretasi. Bahkan hendaknya setiap
muslim selaku ulul albab, yakni yang dianugerahi oleh Allah SWT intelegensi
akal fikiran ikut memikirkan interpretasi – interpretasi tersebut, mengadakan
koreksi, merevisi, dan bila mampu melakukan inovasi. Kebenaran mutlak ada pada
sisi Tuhan dan tidak berubah, juga tidak terpengaruh oleh adanya berbagai macam
interpretasi yang mungkin berubah – ubah menurut perkembangan pemikiran manusia.
‘Ala kulli hal, kita
meyakini kisah Isra’ dan Mi’raj sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Surat
Al – Isra’ ayat 1 dan dituturkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits – hadits
shahih. Adapun tampat Beliau menjalani Mi’raj, ilmu pengetahuan sampai kini belum
menemukan keterangan yang qath’I atau pasti. Allah yang paling mengetahui.
Adapun dengan ruh saja atau
dengan badan dan ruh, jumhul ulama berpendapat bahwa Rasulullah SAW menjalani
perjalanan Isra’ dan Mi’raj dengan badan dan ruh. Inilah pendapat yang insya
Allah paling safe.
Dari berbagi sumber di
Internet