Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at
Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak
berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya
dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut
kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak
berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ
الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi
musafir, wanita hamil dan menyusui.”[1]
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan
menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan
fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan,
“Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga
pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika
keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga
menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup
keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan
Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada
lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam
Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya
(tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya
disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats
Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui
adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang
miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang
Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang
berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku
bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata,
رخص
للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما
كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر
فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى
والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah
bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa.
Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin
setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka.
Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap
ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu
berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat
bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [4]
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ)
قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا
يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ
يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman
Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin,”[5] beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan
keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa
berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan
untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa.
Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
–Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan
tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).”[6]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas
menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar
fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak
berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت
بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak
mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah
sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”[7]
Begitu pula hal yang sama dilakukan
oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت
بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن
تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan
orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa
kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[8] [9]
Dalil Ulama yang
Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ
اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ
الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan
separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[10]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu
saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita
hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. …
Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan
puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir
yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula
yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai
sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup
mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan
menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun
harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan
menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh
ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui
jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak
puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat
mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama
berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada
orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini
adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’
(mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit
(yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang
Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah
ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan
menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم
من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ،
ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang
berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus
menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang
berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak
mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat
ini.”[14]
Sedangkan ulama yang berpendapat
bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui
adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau
mengatakan,
وقال
مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى
ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun
wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk
mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk
mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa
menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui
adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah
mengatakan,
ومن
أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء
أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’
saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan
antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada
memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan
adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak
mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]
Sanggahan untuk Ulama yang
Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah
Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya
adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama
kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم
يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في
وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih
pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang
miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan
menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang
mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal
ini.”[17]
Namun perkataan di atas dapat saja
disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa
menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang
memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi
antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang
menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan
kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah
oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
فمن
المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا
قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا
شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع
العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة
الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في
ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang
berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain
Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz
(menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh
mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan
dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah
diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan
fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan
wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak berpuasa).
Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari
hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.”[18]
Mengkritisi Pendapat Ibnu
‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan
di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam
surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada
wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita
hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa
mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di
atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)[19]. Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan
di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya
pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan
ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya
puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’[20].
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat
adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184
yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al
Bukhari,
حَدَّثَنِى
إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى
الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ
لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu
‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang
yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh
(dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada
perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka
punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]
Ibnu Hajar dalam Al Fath
ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا
مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي
بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu
‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang
disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat
Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”[23]
Selain berargumen dengan alasan di
atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup
menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat
tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan
bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Kritikan Lainnya Dari Sisi
Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf
Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat
lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن
الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ،
وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij,
dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh
berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih,
semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim.
Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat
ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai
sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis
meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya
oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat
Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu
‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam
Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya.
Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن
ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang
wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini
bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk
tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak
membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha”
(HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi[25] menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut
terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin
Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib
At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain
untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا
رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ
وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan,
dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau
berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka
berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah
Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar
dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu
‘Abbas.[26]
Kedua kemungkinan ini tidak
menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang
menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini
pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu
‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas
dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat
yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup
mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh
ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Ulama belakangan yang berpendapat
seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin[27], Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah, juga merupakan
pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan
wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[28]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti
orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak
berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena
setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi
mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi
ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara
memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya,
“Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau
dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya
qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang
ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak
perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam
masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah
mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun
Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa
untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla
berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang
menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’
puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al
Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka
hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil,
wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan
karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka
mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan
untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam
Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh
seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak
diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh.
Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa
dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”
Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian
ulama salaf
yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah
(memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini
adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang
tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang
sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya
menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan
firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al
Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah
sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia
punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian
setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.[30]
Catatan penting yang
perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut
membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan,
“Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak
atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak
berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak
membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa,
dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[31]
Kami
menghargai pendapat lainnya dalam masalah ini. Silahkan para pembaca memilih
pendapat yang dirasa paling kuat, namun tentu saja bukan sekedar ikuti hawa
nafsu, tetapi mengikuti manakah yang lebih dekat pada dalil. Pendapat yang kami
sampaikan dalam tulisan kali ini pun bukan memaksa.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disempurnakan di Markaz Radiomuslim,
11 Ramadhan
1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
dan Yulian
Purnama
[1]HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667,
dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al
Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al
‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin
As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho
dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin
mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul
Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad
yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada
sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga
dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah
ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam).
Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir
yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185).
Maka hadits
ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah
dikenal dalam ilmu
mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh
Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al
Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa
di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al
‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin
Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H.
Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’
Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman
Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu
yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita
hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas
ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah
“Ayyamam Ma’duudaat …”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180,
Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah
dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum
sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
[26] Penjelasan ini dinukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233
,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010.
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin,
17/121-122, Asy Syamilah.
[28] Wanita yang dalam kondisi semacam ini
menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih
butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia
mampum meskipun setelah dua atau tiga tahun selama masih ada udzur.
[29] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin
Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[30] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin,
17/121-122, Asy Syamilah
[31] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
Dalam riwayat Abu Daud,
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi[25] menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.[26]
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin[27], Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah, juga merupakan pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[28]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.[30]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[31]
Disempurnakan di Markaz Radiomuslim, 11 Ramadhan 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal dan Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1]HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
[26] Penjelasan ini dinukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233 ,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010.
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah.
[28] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampum meskipun setelah dua atau tiga tahun selama masih ada udzur.
[29] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[30] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah
[31] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ
الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ
وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat
untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.”[1]Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat
seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi
orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك
وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما
ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ
الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا
خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita
tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika
mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang
ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal
ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih
tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka
tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [4]Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً
لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ
الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى
عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”[5]
beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka
dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal
ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
–Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka
dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).”[6]Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah
dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap
hari yang ditinggalkan.”[7]Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil.
Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu
‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[8] [9]Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[10]Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan
menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat
seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak
mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai
pendapat ini.”[14]Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل
يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا
التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia
dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya
dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’
puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa
menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak
diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله
أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط،
لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih
utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun
memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan
fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum
fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih
pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada
orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita
hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun
dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam hal ini.”[17]Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط
القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط
القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة
الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن
أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية
في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في
ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah
bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla.
Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu
menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh
karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu
diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk
qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan
wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan
musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al
Ka’bi.”[18]Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184).Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)[19].
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa
orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa
ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat
setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya
puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al
Akwa’[20].Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ
حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ
يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ
الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ
كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”
Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus).
Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada
perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka
mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini
diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari
setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184)
telah dimansukh.”[23]Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas,
beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan
Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان
فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم
لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan
Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar,
lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan
membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya,
ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi[25] menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ
الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ
صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij,
dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan
menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha
tanpa fidyah‘”Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.[26]
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin[27], Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah, juga merupakan pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[28]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.[30]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[31]
Kami menghargai pendapat lainnya
dalam masalah ini. Silahkan para pembaca memilih pendapat yang dirasa
paling kuat, namun tentu saja bukan sekedar ikuti hawa nafsu, tetapi
mengikuti manakah yang lebih dekat pada dalil. Pendapat yang kami
sampaikan dalam tulisan kali ini pun bukan memaksa.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.Disempurnakan di Markaz Radiomuslim, 11 Ramadhan 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal dan Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1]HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
[26] Penjelasan ini dinukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233 ,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010.
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah.
[28] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampum meskipun setelah dua atau tiga tahun selama masih ada udzur.
[29] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[30] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah
[31] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
Dalam riwayat Abu Daud,
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi[25] menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.[26]
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin[27], Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah, juga merupakan pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[28]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.[30]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[31]
Disempurnakan di Markaz Radiomuslim, 11 Ramadhan 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal dan Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1]HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
[26] Penjelasan ini dinukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233 ,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010.
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah.
[28] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampum meskipun setelah dua atau tiga tahun selama masih ada udzur.
[29] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[30] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah
[31] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ
الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ
وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat
untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.”[1]Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat
seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi
orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك
وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما
ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ
الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا
خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita
tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika
mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang
ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal
ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih
tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka
tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [4]Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً
لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ
الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى
عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”[5]
beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka
dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal
ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
–Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka
dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).”[6]Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah
dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap
hari yang ditinggalkan.”[7]Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil.
Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu
‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[8] [9]Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[10]Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan
menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat
seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak
mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai
pendapat ini.”[14]Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل
يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا
التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia
dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya
dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’
puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa
menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak
diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله
أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط،
لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih
utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun
memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan
fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum
fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih
pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada
orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita
hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun
dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam hal ini.”[17]Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط
القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط
القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة
الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن
أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية
في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في
ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah
bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla.
Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu
menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh
karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu
diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk
qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan
wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan
musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al
Ka’bi.”[18]Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184).Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)[19].
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa
orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa
ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat
setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya
puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al
Akwa’[20].Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ
حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ
يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ
الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ
كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”
Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus).
Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada
perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka
mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini
diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari
setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184)
telah dimansukh.”[23]Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas,
beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan
Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان
فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم
لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan
Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar,
lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan
membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya,
ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi[25] menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ
الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ
صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij,
dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan
menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha
tanpa fidyah‘”Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.[26]
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin[27], Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah, juga merupakan pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[28]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.[30]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[31]
Kami menghargai pendapat lainnya
dalam masalah ini. Silahkan para pembaca memilih pendapat yang dirasa
paling kuat, namun tentu saja bukan sekedar ikuti hawa nafsu, tetapi
mengikuti manakah yang lebih dekat pada dalil. Pendapat yang kami
sampaikan dalam tulisan kali ini pun bukan memaksa.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.Disempurnakan di Markaz Radiomuslim, 11 Ramadhan 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal dan Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1]HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
[26] Penjelasan ini dinukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233 ,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010.
[27] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah.
[28] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampum meskipun setelah dua atau tiga tahun selama masih ada udzur.
[29] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[30] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah
[31] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar